Sabtu, 29 Juni 2013

Tentang Tomat, Ketimun, dan Kemauan Menerima

Ketidakcocokan budaya merupakan salah satu aspek yang perlu saya pikirkan masak-masak sebelum saya berangkat studi di negeri orang. Saya harus berkompeten untuk terlibat dalam interaksi antarbudaya agar triad parameter sukses beradaptasi (perasaan nyaman, hubungan baik, dan kerja efektif) dapat saya penuhi.

Dalam sesi Program Kepemimpinan LPDP hari ini (29/06), peserta diajak membahas mengenai proses adaptasi di lingkungan baru. Dari perkembangan diskusi yang terjadi, saya menarik kesimpulan sendiri bahwa mayoritas teman-teman peserta memiliki kekhawatiran bahwa akan terjadi culture incompatibility atau gegar budaya, di mana perbedaan cara pandang, kebiasaan, gaya hidup, dan kepercayaan ditakutkan menimbulkan friksi dalam interaksi sosial. Orang takut bahwa keunikan mereka malah membuat mereka dipandang berbeda dan aneh dalam lingkungan yang baru.

Jadi, situasi ini ibarat ada seiris tomat yang takut tidak dapat berbaur dengan irisan ketimun dalam suatu mangkuk salad.

Saya berusaha berintrospeksi.

Saya sendiri memandang diri saya sebagai orang yang pada umumnya kurang kompeten untuk melakukan interaksi sosial, terutama di tempat baru. Berbagai kecemasan muncul ketika saya masuk ke dalam situasi lingkungan yang asing bagi saya. "Apa pendapat mereka tentang saya?" biasanya adalah pertanyaan yang pertama meruak di benak dan terus mengganggu di bawah alam sadar sehingga ruang gerak saya menjadi terbatas.

Walaupun saya masih cemas mengenai prospek bertemu dengan jutaan orang asing di Boston dan berusaha settle in selama minggu-minggu pertama saya menetap di sana, rasa kebungahan saya untuk menuntut ilmu dan mengecap suasana budaya barat yang selama ini hanya bisa saya tonton di film dan saya baca di buku mengalahkan kecemasan saya.

Saya dibesarkan dengan buku — dan... makanan. Ibu saya rajin membawa saya ke Gramedia book fair dan membelikan banyak novel terjemahan karangan orang asing: Enid Blyton, Frances Hodgson Burnett, Daniel Defoe, Anthony Buckeridge, Charles Dickens, Astrid Lindgren, C.S. Lewis, Roald Dahl, Mark Twain, Rudyard Kipling, Sir Arthur Conan Doyle, Laura Ingalls Wilder, dan tentu saja J. K. Rowling. Sejak kecil saya terekspos dengan budaya barat melalui buku dan secara tidak sadar budaya tersebut saya serap dan saya amalkan. Baru pada saat kelas 2 SMP lah saya diberitahu oleh seorang guru fisika bahwa — menurutnya — saya kebarat-baratan. Entah apa makna 'kebarat-baratan' saya sampai sekarang tidak tahu. Tapi semakin tingginya jenjang pendidikan saya panjat, saya sadar bahwa ya, memang saya sepertinya memiliki derajat resepsi dan absorbsi yang lebih toleran terhadap budaya barat dibandingkan teman-teman sepantaran.

Selain dari buku-buku yang saya baca di masa kanak-kanak, kelenturan saya dalam menerima budaya barat juga dipupuk oleh kondisi lingkungan saya di English Debating Society UGM, suatu UKM debat bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada. Di sana, saya terekspos dengan perbedaan. Kumpulkan orang-orang cerdas di suatu universitas besar dalam satu kelompok kecil yang kompetitif, dan yang akan Anda dapatkan adalah kondisi kemasyarakatan yang bertipe salad bowl. Masing-masing orang di sana memiliki karakteristik khusus yang tidak lantas dipangkas agar seragam.

Tenet yang saya pelajari di UKM ini adalah bahwa EDS-UGM tidak akan peduli apakah bagi Anda, sosok Tuhan adalah dzat yang mahakuasa dan mahatahu atau apakah ia tidak lebih dari suatu konsep fiktif yang diciptakan umat manusia sebagai alat untuk mengendalikan sesamanya. Selama mereka bisa berkontribusi sebagai anggota UKM, maka sifat-sifat lain yang tidak mengganggu kontribusi mereka adalah tidak relevan.

Beberapa orang mungkin akan berkata: tidak. Sikap ini adalah liberal. Dan menjadi liberal itu salah. Liberal itu selalu buruk. Tidak masalah bagi mereka untuk berpendapat seperti itu. Namun dalam konteks merantau di negeri orang, apabila pendapat pribadi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam bentuk penghakiman terbuka terhadap orang yang dianggap memiliki pandangan yang berbeda, maka output-nya lebih banyak mengandung mudharat bagi mereka daripada bagi si 'penyimpang'. Karena jujur saja, kitalah yang lebih banyak melakukan penyimpangan terhadap norma yang berlaku di tanah rantau.

Jadi, tidak ada budaya yang buruk. Yang ada ialah budaya yang berbeda (Harrison, 2008).

Saya sepakat dengan pendapat para pemateri dalam diskusi LPDP hari ini: bahwa kunci untuk menangani perbedaan adalah untuk menerima perbedaan tersebut. Sederhana. Tetap lakukan apa yang menurut Anda prinsipil dan komunikasikan kepada rekan sejawat agar ia pun dapat menerima perbedaan antara dia dan Anda. Namun terhadap hal-hal yang tidak prinsipil di mana kompromi dapat dilakukan, tidak ada salahnya untuk mencoba un-learn adat atau kepercayaan yang Anda miliki dan mulai learn adat atau kepercayaan tuan rumah.

Problem yang sering terjadi dalam konteks pendidikan multikultural adalah keangkuhan memandang budaya atau pandangan sendiri sebagai yang paling benar, alias bias (Hoffman, 1996).

Jadi, semua kembali lagi kepada pertanyaan yang harus kita refleksikan pada diri kita sendiri: mampukah kita menerima perbedaan?

Apabila kita adalah tomat, maka jadilah tomat. Jangan mencoba menjadi ketimun dan janganlah memaksa ketimun yang lain untuk ikut menjadi tomat. Jadikan kemauan untuk menerima (acceptance) dan kompromi/toleransi/tenggang rasa Anda menjadi salad dressing yang mengikat semuanya menjadi satu hidangan, namun tanpa mengubah keunikan karakteristik masing-masing komponennya.

Referensi

Harrison, L. E. (2008). "The end of multiculturalism". The Christian Science Monitor. Diunduh 29 Juni, 2013, dari http://search.proquest.com/docview/405563502?accountid=13771.
Hoffman, D. M. (1996). "Culture and Self in Multicultural Education: Reflections on Discourse, Text, and Practice." American Educational Research Journal  33: 3 (Autumn), pp. 545-569.

2 komentar:

  1. Very nice. Fear of the unknown memang selalu menghantui, tapi tidak bijak bagi kita untuk langsung memasang moda antipati.EDS UGM memang menjadi tempat yang sangat ideal dan "mendidik" bagi orang-orang yang bisa melihat lebih jauh dari sekedar atribut sosial saat kita akan menilai orang lain.
    Btw, sepertinya itu un-learnt, bukan un-learn.

    BalasHapus
  2. Awesome writing :)

    I disagree with Harrison, though. We do have tribes that practice cannibalism. So, yes, I dont think that we could deny that there is, to some extent, some values that are indeed universally right or wrong.

    A cultural jus cogens, perhaps? hahaha

    BalasHapus