Jumat, 28 Juni 2013

Tentang Karakter Pemimpin dan Batasan

Klise, memang. Tapi menurut saya banyak orang yang sulit untuk berani tumbuh dewasa, menanggalkan emosi kanak-kanak, dan menceburkan diri ke realitas kehidupan. Secara teori, seharusnya isi timeline saya di Twitter didominasi oleh orang-orang dewasa yang sepantaran — yah, rentang umur antara 21 sampai 25 tahun lah. Tapi, tidak jarang juga warga timeline mengeposkan status #kode nan #cryptic dengan harapan si target status penuh #kode tersebut eh-kebetulan-baca atau mungkin berharap sesama warga timeline mampir dan berkicau-mention: “Knp? Lgi ad masalh ya?”.

Apa hubungannya dengan judul pos ini?

Kemarin (27/06) dan hari ini (28/06), sesi diskusi LPDP membahas mengenai karakter kepemimpinan. Saya tergelitik untuk mencoba menarik benang merah di antara keduanya.





Menurut saya, seorang pemimpin seharusnya adalah seorang yang dewasa yang tahu batasan. Batasan apa? Batasan kaidah sosial, misalnya batasan usia dan batasan berperilaku di dalam pagar yang ditetapkan oleh konsensus masyarakat.

Seseorang yang memiliki kualitas pemimpin adalah orang yang mampu menggerakkan orang lain. Jadi, di sini diperlukan kedewasaan dalam artian lahiriah maupun batiniah. Dari sisi batiniah, seorang pemimpin diharapkan mampu untuk secara dewasa menyikapi perbedaan dan keadaan sekeliling. Kedewasaan untuk tahu batasan dalam berperilaku. Seseorang belum akan dianggap sebagai seorang pemimpin yang baik apabila ia masih belum mampu paham bahwa gejolak emosi tidak akan mengubah keadaan (Chandramowly, 2004). Fakta salah satu partai koalisi tiba-tiba mbalelo dan loncat ke gerbong oposisi tidak akan berubah hanya karena kita mengekspresikan kemarahan, kesebalan, atau kesedihan. Di sinilah seorang pemimpin diharapkan untuk mampu menyibak tirai emosi yang melingkupi suatu fakta dan oleh karenanya mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan fakta belaka tanpa dikotori dengan emosi.

Selain dari kedewasaan dalam artian batiniah, kedewasaan juga ditentukan secara lahiriah, alias batasan usia. Banyak budaya di dunia ini yang menyebut seorang pemimpin sebagai seorang yang tua: ‘tetua’, ‘ketua’, atau ‘elder’. Di sini terlihat bahwa ada preferensi masyarakat untuk dipimpin oleh seorang pemimpin yang tua atau dituakan. Mengapa? Karena penambahan bilangan usia ditafsirkan sebagai indikator bahwa dalam insan orang yang bersangkutan telah terakumulasi pengetahuan (baik empiris, sosial, unggah-ungguh etika, dan lain sebagainya) yang menempatkannya di ‘posisi serbatahu’ sehingga terbentuklah respek atau penghormatan (Sokolovsky, 2002). Amoss & Harrell (1981) memberikan batasan tambahan: bahwa biarpun usia telah bertambah, apabila orang tersebut belum dianggap berkontribusi kepada masyarakat dan tidak menguasai sumberdaya tertentu, maka respek atau penghormatan belum akan terbentuk.

Bila pembaca blog ini tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai hubungan antara ‘tetua’ dengan ‘penuaan’ di kalangan Suku Maori, baca laporan Kaumātua – Māori Elders di http://www.teara.govt.nz/en/kaumatua-maori-elders.

Jadi, melahirkan seorang pemimpin bukan persoalan yang mudah. Ada batasan ekspektasi sosial yang harus mampu dipenuhi. Respek masyarakat terbentuk karena kedewasaan baik dalam konteks kesiapan batin maupun lahir dan karena adanya persepsi masyarakat terhadap kontribusi dan kedudukan berkuasa seseorang. Seseorang yang belum mampu mengendalikan emosi dan cenderung mudah membagikan (share) kegalauannya dengan status ber-#kode menurut saya masih belum dapat disebut ‘pemimpin’.

Entah bagaimana pendapat pembaca blog ini. Tetapi menurut saya, beberapa orang warga timeline saya masih belum mengenal batasan untuk menjadi seorang pemimpin yang direspek orang lain.

Miris, sebab seperti yang dibahas dalam diskusi LPDP kemarin (27/06), Indonesia memerlukan lebih banyak pemimpin yang berkualitas, dalam rangka menyongsong bonus demografi tahun 2030 nanti (lihat: Tentang Bonus Demografi).

Saya sendiri masih perlu banyak belajar. Dan saya akan memulainya dengan tidak mengumbar #kode di Twitterverse.

Referensi

Sokolovsky, J. (2002). "Status of Older People: Tribal Societies."  Encyclopedia of Aging. Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3402200389.html.
Chandramowly, M. R. (2004). “Emotional Maturity to Leadership.” Leadership Competency. Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://archive.deccanherald.com/Deccanherald/may122004/av1.asp.
Amoss, P. dan S. Harrell (ed) (1981). Other Ways of Growing Old: Anthropological Perspectives. Stanford: Stanford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar