Klise, memang. Tapi menurut
saya banyak orang yang sulit untuk berani tumbuh dewasa, menanggalkan emosi kanak-kanak,
dan menceburkan diri ke realitas kehidupan. Secara teori, seharusnya isi timeline saya di Twitter didominasi oleh
orang-orang dewasa yang sepantaran — yah, rentang
umur antara 21 sampai 25 tahun lah. Tapi, tidak jarang juga warga timeline mengeposkan status #kode nan #cryptic
dengan harapan si target status penuh #kode tersebut eh-kebetulan-baca atau mungkin
berharap sesama warga timeline mampir
dan berkicau-mention: “Knp? Lgi ad masalh ya?”.
Apa hubungannya dengan
judul pos ini?
Kemarin (27/06) dan hari
ini (28/06), sesi diskusi LPDP membahas mengenai karakter kepemimpinan. Saya
tergelitik untuk mencoba menarik benang merah di antara keduanya.
Menurut saya, seorang
pemimpin seharusnya adalah seorang yang dewasa yang tahu batasan. Batasan apa?
Batasan kaidah sosial, misalnya batasan usia dan batasan berperilaku di dalam pagar
yang ditetapkan oleh konsensus masyarakat.
Seseorang yang memiliki
kualitas pemimpin adalah orang yang mampu menggerakkan orang lain. Jadi, di
sini diperlukan kedewasaan dalam artian lahiriah maupun batiniah. Dari sisi
batiniah, seorang pemimpin diharapkan mampu untuk secara dewasa menyikapi
perbedaan dan keadaan sekeliling. Kedewasaan untuk tahu batasan dalam
berperilaku. Seseorang belum akan dianggap sebagai seorang pemimpin yang baik
apabila ia masih belum mampu paham bahwa gejolak emosi tidak akan mengubah
keadaan (Chandramowly, 2004). Fakta salah
satu partai koalisi tiba-tiba mbalelo
dan loncat ke gerbong oposisi tidak akan berubah hanya karena kita mengekspresikan
kemarahan, kesebalan, atau kesedihan. Di sinilah seorang pemimpin diharapkan
untuk mampu menyibak tirai emosi yang melingkupi suatu fakta dan oleh karenanya
mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan fakta belaka tanpa dikotori
dengan emosi.
Selain dari kedewasaan
dalam artian batiniah, kedewasaan juga ditentukan secara lahiriah, alias batasan
usia. Banyak budaya di dunia ini yang menyebut seorang pemimpin sebagai seorang
yang tua: ‘tetua’, ‘ketua’, atau ‘elder’. Di sini terlihat bahwa ada preferensi
masyarakat untuk dipimpin oleh seorang pemimpin yang tua atau dituakan.
Mengapa? Karena penambahan bilangan usia ditafsirkan sebagai indikator bahwa dalam
insan orang yang bersangkutan telah terakumulasi pengetahuan (baik empiris,
sosial, unggah-ungguh etika, dan lain sebagainya) yang menempatkannya di ‘posisi
serbatahu’ sehingga terbentuklah respek atau penghormatan (Sokolovsky, 2002). Amoss
& Harrell (1981) memberikan batasan tambahan: bahwa biarpun usia telah
bertambah, apabila orang tersebut belum dianggap berkontribusi kepada
masyarakat dan tidak menguasai sumberdaya tertentu, maka respek atau penghormatan
belum akan terbentuk.
Bila pembaca blog ini tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai hubungan antara ‘tetua’ dengan ‘penuaan’ di kalangan Suku Maori, baca laporan Kaumātua – Māori Elders di http://www.teara.govt.nz/en/kaumatua-maori-elders.
Jadi, melahirkan seorang
pemimpin bukan persoalan yang mudah. Ada batasan ekspektasi sosial yang harus
mampu dipenuhi. Respek masyarakat terbentuk karena kedewasaan baik dalam
konteks kesiapan batin maupun lahir dan karena adanya persepsi masyarakat
terhadap kontribusi dan kedudukan berkuasa seseorang. Seseorang yang belum
mampu mengendalikan emosi dan cenderung mudah membagikan (share) kegalauannya dengan status ber-#kode menurut saya masih belum
dapat disebut ‘pemimpin’.
Entah bagaimana pendapat
pembaca blog ini. Tetapi menurut saya, beberapa orang warga timeline saya masih belum mengenal
batasan untuk menjadi seorang pemimpin yang direspek orang lain.
Miris, sebab seperti yang
dibahas dalam diskusi LPDP kemarin (27/06), Indonesia memerlukan lebih banyak pemimpin
yang berkualitas, dalam rangka menyongsong bonus demografi tahun 2030 nanti
(lihat: Tentang
Bonus Demografi).
Saya sendiri masih perlu
banyak belajar. Dan saya akan memulainya dengan tidak mengumbar #kode di
Twitterverse.
Referensi
Sokolovsky, J. (2002). "Status
of Older People: Tribal Societies."
Encyclopedia of Aging. Diunduh
28 Juni, 2013, dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3402200389.html.
Chandramowly, M. R. (2004).
“Emotional Maturity to Leadership.” Leadership
Competency. Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://archive.deccanherald.com/Deccanherald/may122004/av1.asp.
Amoss, P. dan S. Harrell
(ed) (1981). Other Ways of Growing Old: Anthropological
Perspectives. Stanford: Stanford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar