Kamis, 27 Juni 2013

Tentang Kisah Sukses CSR: Sinergi antara Kepentingan Perusahaan dengan Kepentingan Masyarakat

Hari Rabu kemarin adalah hari pertama program pengayaan. Tidak banyak yang dapat dilaporkan di sini karena hari pertama program hanya diisi oleh tiga mata acara: pembukaan dan sambutan-sambutan, tanya-jawab program beasiswa dengan dewan direksi LPDP, dan Seminar Entrepreneurship. Yang ingin saya sentuh secara agak lebih mendalam adalah mengenai Seminar Entrepreneurship dengan Goris Mustaqim sebagai pembicara. Seminar ini mengetengahkan isu mengenai peran anak-anak muda yang terdidik terhadap pemberdayaan masyarakat. Saya mencatat bahwa tenet yang diusung Goris sebenarnya sederhana: bahwa masalah sosial bisa diatasi dengan pendekatan kewirausahaan. Beliau memberi contoh mengenai investasi pohon. Dalam skema investasi pohon, Goris memodali petani dengan bibit pohon dan pupuk, lalu meminta petani untuk menanam pohon kayu secara tumpang sari dengan tanaman kebun. Ketika kayu pohon tersebut siap panen, koperasi tani akan menjual kayunya dan petani dapat memperoleh 60 sampai 70% dari uang hasil penjualan kayu.

Yang menarik dari skema investasi ini adalah ternyata modal yang diberikan kepada petani berasal dari dana tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Jadi, di sini terlihat adanya kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat.





Di sini saya ingin membagikan suatu cerita yang menunjukkan bahwa program yang tadinya hanyalah bagian dari CSR suatu perusahaan dapat menjadi pemicu suatu rekayasa sosial (social engineering) sehingga pada akhirnya tercipta sinergi antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Sinergi ini dapat dikatakan sebagai simbiosis mutualisme yang seiring berjalannya waktu malah dapat berjalan dengan sendirinya tanpa perlu lagi adanya insentif atau sokongan kapital dari dana CSR perusahaan. Pada akhirnya yang tercipta adalah win-win solution di mana perusahaan memperoleh manfaat langsung bagi faktor produksinya dan di sisi lain masyarakat terberdayakan karena program ini.

Tanpa menyebut nama perusahaan dan nama daerah yang sebenarnya, suatu perusahaan air minum besar di Indonesia telah mampu mengamankan pasokan air bakunya dengan cara meyakinkan warga di hulu untuk menanam pohon kayu keras.

Mengapa perusahaan air minum ini harus mengamankan pasokan air bakunya? Sebagai suatu kegiatan usaha, ketersediaan air baku harus mampu dipastikan agar keberlangsungan usaha dapat terjamin. Namun, walaupun Pasal 18 (1) PP 16/2005 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan air baku untuk penyediaan air minum — dan mandat PP ini juga didukung oleh berbagai literatur, misalnya Wibowo & Mohamed (2008) dan Akuntono (2013) — faktanya sampai sekarang belum ada lembaga pemerintah yang mampu menjamin ketersediaan air baku. Memang, pemerintah telah membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai, Badan Pendukung Pengadaan Sistem Penyediaan Air Minum, dan bahkan telah membentuk perusahaan umum Jasa Tirta I dan Jasa Tirta II. Seluruh lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang beririsan di banyak tempat. Akan tetapi laporan Kementerian Pekerjaan Umum (2008) dan Anshori (2009) memperlihatkan bahwa pengelolaan sumber daya air di antara instansi-instansi ini masih belum optimal dan belum terpadu karena lemahnya koordinasi antar sektor. Laporan ini selaras dengan pengalaman di Cina yang menunjukkan bahwa apabila jumlah instansi pemerintah yang mengurus sumber daya air semakin banyak, maka tanggungjawab pengelolaan sumber daya air pun semakin terfragmentasi (Lee 2010). Hal inilah yang memaksa si perusahaan air minum besar ini untuk melakukan sendiri upaya-upaya menjamin ketersediaan air bakunya.

Harus diakui bahwa pertama kali memang sulit untuk mengharapkan masyarakat daerah hulu untuk melakukan konservasi total karena konservasi menimbulkan opportunity cost bagi daerah hulu yang tidak dapat mengembangkan kawasan secara bebas. Di sinilah si perusahaan air minum besar ini melakukan pendekatan berbasis pasar dalam bentuk pembayaran dan imbal jasa lingkungan, yaitu suatu skema di mana pengguna SDA memberikan manfaat (finansial maupun non-finansial) kepada pelestari SDA sebagai insentif untuk terus melestarikan SDA. Mirip dengan skema Goris yang memberikan insentif berupa modal bibit pohon dan pupuk bagi petani untuk menanam pohon keras.

Dana imbal jasa lingkungan si perusahaan air minum ini bersumber dari dana CSR-nya. Zaini (2005) melaporkan bahwa sebenarnya dana imbal jasa lingkungan dapat dibebankan kepada pelanggan air minum sebagai bentuk iuran dana konservasi lingkungan. Laporan Zaini menunjukkan bahwa 90% pelanggan PDAM yang disurvei di Nusa Tenggara Barat bersedia untuk membayar komponen biaya konservasi dalam tagihan bulanan mereka.

Memang pada awalnya diperlukan upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat setempat. Akan tetapi, dalam kasus perusahaan air minum besar ini, hanya dalam waktu empat tahun sejak penduduk merestorasi tutupan hutan di hulu sungai, debit dan mutu air sungai meningkat kembali. Bahkan dilaporkan adanya peningkatan jumlah dan keanekaragaman hayati di daerah hulu sungai. Masyarakat senang karena kondisi lingkungan mereka membaik, dan perusahaan air minum di hilir juga senang sebab risiko ketersediaan air baku menjadi berkurang karena paling tidak di hulu debit dan mutu air berhasil ditingkatkan. Pasar bisnis air pun akan lebih terjamin karena pasokan dan mutu air baku tidak lagi menjadi masalah.

Sekarang, masyarakat di daerah hulu tidak lagi perlu diberikan insentif dari dana CSR perusahaan air minum. Mereka sudah melihat sendiri manfaat yang ditimbulkan dari lingkungan hidup yang lestari. Mereka melanjutkan menanam pohon kayu keras di sela-sela perkebunan sayur mereka dan debit air yang keluar dari mata-mata air di daerah itu pun semakin membaik mutunya dan meningkat jumlahnya. Inilah yang saya sebut sebagai kisah sukses penyelarasan antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat.

Di bidang manajemen, risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu memikulnya karena bila tidak, maka tanggungjawab pengendalian risiko berpotensi kacau (Ng & Loosemore 2006). Di sini, sebenarnya posisi si perusahaan air minum tidaklah ideal. Sebagai perusahaan swasta, ia tidak memiliki kapasitas untuk menjamin ketersediaan air baku sehingga sebenarnya ia tidak layak memikul risiko ketersediaan air baku. Akan tetapi, dengan pendekatan CSR yang tepat, maka tidak saja perusahaan ini mampu menangani risiko ketersediaan air bakunya, tetapi juga perusahaan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Di sini, saya melihat bahwa ternyata kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat dapat diselaraskan sehingga program CSR tidak perlu lagi dipahami sebagai program yang semata-mata dilaksanakan oleh perusahaan karena diwajibkan oleh undang-undang. Usaha yang dilakukan Goris Mustaqim dengan memperkenalkan program investasi pohon telah mampu membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui program kewirausahaan. Tulisan saya menambahkan suatu cerita sukses bagaimana program investasi pohon seperti yang dirintis Goris pada suatu waktu akan mampu berjalan dengan sendirinya tanpa perlu adanya insentif modal dari Goris maupun dari dana CSR perusahaan.

Referensi

Akuntono, I. (2013). "Pemerintah Dituntut Cukupi Ketersediaan Air Baku."   Diunduh 27 Juni 2013, dari http://bit.ly/YTjTuk.
Anshori, I. (2009). "Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan Terpadu." Buletin Dewan Sumberdaya Air Nasional.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2008). "Swasta Tidak Mungkin Ambil Alih Aset PDAM."   Diunduh 27 Juni  2013, dari http://bit.ly/17FD1y5.
Lee, S. (2010). "Development of Public Private Partnership (PPP) Projects in the Chinese Water Sector." Water Resource Management 24: 1925-1945.
Ng, A. dan M. Loosemore (2006). "Risk Allocation in the Private Provision of Public Infrastructure." International Journal of Project Management 25(1): 66-76.
Wibowo, A. dan S. A. M. Mohamed (2008). "Perceived Risk Allocation in Public-Private-Partnered Water Supply Projects in Indonesia". Proceeding of 1st International Conference on Engineering Management (ICEM-2008), Mehran University of Engineering and Technology Pakistan.
Zaini, L. M. (2005). "Program Pengelolaan Perlindungan Sumber Air Baku PDAM Menang, Mataram, Nusa Tenggara Barat". Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. A. Fauzi, B. Leimona and Muhtadi. Bogor, World Agroforestry Centre (ICRAF).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar