Kamis, 27 Juni 2013

Tentang Budaya Permisif dan Sikap Antikorupsi

Saat saya masih duduk di bangku kuliah fakultas hukum, saya memperoleh mata kuliah Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafrecht). Sejumlah 3 kredit semester, mata kuliah ini mempelajari hukum pidana materiil untuk kejahatan korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika dan psikotropika, pelanggaran berat hak asasi manusia, perbankan, dan lingkungan. Banyak hal yang membuat kejahatan-kejahatan tersebut dipandang ‘khusus’, salah satunya adalah karena policy consideration di mana dampak dari kejahatan pidana khusus bersifat destruktif dan meluas.

Jadi, bijzonder strafrecht sebenarnya merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht 1886 (“W.v.S.” — Kitab Undang-undang Hukum Pidana), karena hukum pidana khusus ini memiliki tujuan dan fungsi sendiri (Pompe, dikutip dalam Prasetyo, (2010)). Penyimpangan ini diperbolehkan oleh Pasal 103 W.v.S.: De bepalingen der eerste acht Titels van dit Boek zijn ook toepasselijk op feiten, waarop bij andere wettelijke voorschriften straf is gesteld, tenzij bij de wet, bij algemeenen maatregel van bestuur of bij ordonnantie anders is bepaald” (Hof, 1930). Terjemahan bebasnya adalah: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Artinya, W.v.S. sengaja memberikan ruang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi kitab undang-undang hukum pidana.

Pada hari Kamis (27/06) kemarin, LPDP menyelenggarakan diskusi Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Pelatihan Pencegahan Korupsi. Secara pribadi, diskusi ini sangat menarik sebab di sesi pertama, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi hadir sebagai pembicara dan di sesi kedua diputar satu bagian dari film omnibus K versus K, yakni Selamat Pagi, Risa.





Satu hal yang menarik perhatian adalah, kedua sesi tersebut tidak secara langsung menyentuh pembicaraan mengenai tindak pidana korupsi atau perilaku koruptif. Akan tetapi, menurut hemat saya yang dibahas dalam diskusi kemarin lebih berfokus pada perilaku anti suap dan etika berperilaku sebagai warga negara yang berintegritas.

Jadi, alih-alih tindak pidana korupsi, topik yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah: apakah hubungan antara sikap masyarakat dengan tindak pidana korupsi?

Saya pernah mendengar pendapat yang mengatakan bahwa perilaku koruptif adalah budaya yang telah tertanam dan mengakar, terutama di bangsa-bangsa yang baru terbebas dari tekanan kolonialisme. Tidak hanya itu, kultur yang menekankan pada kesuksesan, misalnya kultur di Korea dan Jepang, juga berdampak pada sikap masyarakat. Penelitian di Korea Times menunjukkan bahwa orang muda Korea cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap praktik korupsi serta suap-menyuap demi mencapai kesuksesan (Sung-Soo, 2013). Jadi terlihat bahwa sikap masyarakat terhadap korupsi berpengaruh terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Benarkan budaya Indonesia permisif terhadap korupsi?

Penelitian Cameron, et al. (2005) menemukan bahwa di Indonesia, walaupun indeks persepsi korupsinya menunjukkan tingginya prevalensi tindakan korupsi, namun ternyata masyarakat Indonesia memiliki nilai permisivitas yang rendah terhadap korupsi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat kita memiliki keinginan yang tinggi untuk ikut serta dalam kegiatan melawan korupsi dan menghukum koruptor. Bahkan, penelitian ini mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap masyarakat di Australia yang notabene memiliki ranking yang lebih baik dalam indeks persepsi korupsi global.

Tidak hanya temuan Cameron, et al. (2005), survey yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2012 juga menemukan bahwa masyarakat Indonesia memiliki Indeks Perilaku Anti Korupsi yang tinggi: 3,5 (Badan Pusat Statistik, 2013). Artinya, masyarakat kita cenderung memandang korupsi sebagai tindakan yang negatif karena nilai IPAK yang mendekati 0 menunjukkan perilaku yang sangat permisif terhadap korupsi, sedangkan nilai IPAK mendekati 5 menunjukkan perilaku yang sangat anti korupsi.

Fakta ini perlu untuk disambut dengan gembira sebab sikap antikorupsi merupakan salah satu tujuan Independent Commission Against Corruption: “To change people’s behaviour so that they will not engage in corrupt behaviour initially for fear of detection (deterrence), later because they cannot (prevention), and yet later because they do not wish to (attitude change)”. Pertanyaan apakah saat ini Indonesia sedang berada dalam tahapan fear, cannot, atau do not wish to harus dijawab dalam penelitian lain. Tetapi, cukuplah temuan Cameron, et al. (2005) ini menunjukkan bahwa ternyata masyarakat Indonesia memiliki sikap yang antikorupsi dan masyarakat yang termotivasi untuk membasmi korupsi tentu cenderung mendukung program-program antikorupsi.

Ini adalah langkah awal.

Referensi

Prasetyo, T. (2010). Hukum Pidana. Cetakan Pertama. Rajawali Pers. Jakarta.
van ‘T Hof, M.W. (1930). Wetboek Van Strafrecht. N.V.G.Kolff & Co. Batavia-Centrum.
Badan Pusat Statistik (2013). “Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012”. Berita Resmi Statistik 07/01/XVI.
Cameron, L., A. Chaudhuri, N. Erkal, dan L. Gangadharan (2005). “Do Attitudes Towards Corruption Differ Across Cultures? Experimental Evidence from Australia, India, Indonesia and Singapore”. Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://www.econ.canterbury.ac.nz/downloads/attitudes_towards_corruption.pdf.
Sung-Soo, K. (2013). “To be Rich or to be Honest? — Teaching Integrity to the Young in South Korea.” Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://ptfund.org/2013/05/to-be-rich-or-to-be-honest-teaching-integrity-to-the-young-in-south-korea/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar