Saat saya masih duduk di
bangku kuliah fakultas hukum, saya memperoleh mata kuliah Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafrecht). Sejumlah 3
kredit semester, mata kuliah ini mempelajari hukum pidana materiil untuk
kejahatan korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika dan psikotropika,
pelanggaran berat hak asasi manusia, perbankan, dan lingkungan. Banyak hal yang
membuat kejahatan-kejahatan tersebut dipandang ‘khusus’, salah satunya adalah
karena policy consideration di mana
dampak dari kejahatan pidana khusus bersifat destruktif dan meluas.
Jadi, bijzonder strafrecht sebenarnya
merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang terdapat dalam Wetboek van
Strafrecht 1886 (“W.v.S.” — Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), karena hukum pidana khusus ini memiliki tujuan dan
fungsi sendiri (Pompe, dikutip dalam Prasetyo,
(2010)). Penyimpangan ini diperbolehkan oleh Pasal 103 W.v.S.: De bepalingen der eerste acht Titels van dit
Boek zijn ook toepasselijk op feiten, waarop bij andere wettelijke
voorschriften straf is gesteld, tenzij bij de wet, bij algemeenen maatregel van
bestuur of bij ordonnantie anders is bepaald” (Hof, 1930). Terjemahan bebasnya adalah: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Artinya,
W.v.S. sengaja memberikan ruang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar
kodifikasi kitab undang-undang hukum pidana.
Pada hari Kamis (27/06)
kemarin, LPDP menyelenggarakan diskusi Masa
Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Pelatihan Pencegahan Korupsi. Secara
pribadi, diskusi ini sangat menarik sebab di sesi pertama, mantan ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi hadir sebagai pembicara dan di sesi kedua diputar satu
bagian dari film omnibus K versus K,
yakni Selamat Pagi, Risa.
Satu hal yang menarik perhatian
adalah, kedua sesi tersebut tidak secara langsung menyentuh pembicaraan
mengenai tindak pidana korupsi atau perilaku koruptif. Akan tetapi, menurut
hemat saya yang dibahas dalam diskusi kemarin lebih berfokus pada perilaku anti
suap dan etika berperilaku sebagai warga negara yang berintegritas.
Jadi, alih-alih tindak pidana korupsi, topik yang ingin saya
angkat dalam tulisan ini adalah: apakah hubungan antara sikap masyarakat dengan
tindak pidana korupsi?
Saya pernah mendengar pendapat
yang mengatakan bahwa perilaku koruptif adalah budaya yang telah tertanam dan
mengakar, terutama di bangsa-bangsa yang baru terbebas dari tekanan
kolonialisme. Tidak hanya itu, kultur yang menekankan pada kesuksesan, misalnya
kultur di Korea dan Jepang, juga berdampak pada sikap masyarakat. Penelitian di
Korea Times menunjukkan bahwa orang muda Korea cenderung untuk melakukan
pembenaran terhadap praktik korupsi serta suap-menyuap demi mencapai kesuksesan
(Sung-Soo, 2013). Jadi terlihat
bahwa sikap masyarakat terhadap korupsi berpengaruh terhadap kinerja pemberantasan
korupsi. Benarkan budaya Indonesia permisif terhadap korupsi?
Penelitian Cameron, et al. (2005) menemukan bahwa
di Indonesia, walaupun indeks persepsi korupsinya menunjukkan tingginya
prevalensi tindakan korupsi, namun ternyata masyarakat Indonesia memiliki nilai
permisivitas yang rendah terhadap korupsi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat
kita memiliki keinginan yang tinggi untuk ikut serta dalam kegiatan melawan
korupsi dan menghukum koruptor. Bahkan, penelitian ini mengatakan bahwa sikap
masyarakat Indonesia seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap masyarakat di
Australia yang notabene memiliki ranking yang lebih baik dalam indeks persepsi
korupsi global.
Tidak hanya temuan Cameron, et al. (2005), survey yang
dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2012 juga menemukan bahwa masyarakat
Indonesia memiliki Indeks Perilaku Anti Korupsi yang tinggi: 3,5 (Badan Pusat Statistik, 2013). Artinya,
masyarakat kita cenderung memandang korupsi sebagai tindakan yang negatif
karena nilai IPAK yang mendekati 0 menunjukkan perilaku yang sangat permisif terhadap
korupsi, sedangkan nilai IPAK mendekati 5 menunjukkan perilaku yang sangat anti
korupsi.
Fakta ini perlu untuk
disambut dengan gembira sebab sikap antikorupsi merupakan salah satu tujuan Independent
Commission Against Corruption: “To change
people’s behaviour so that they will not engage in corrupt behaviour initially
for fear of detection (deterrence), later because they cannot (prevention), and
yet later because they do not wish to (attitude change)”. Pertanyaan apakah
saat ini Indonesia sedang berada dalam tahapan fear, cannot, atau do not
wish to harus dijawab dalam penelitian lain. Tetapi, cukuplah temuan Cameron, et al. (2005) ini menunjukkan
bahwa ternyata masyarakat Indonesia memiliki sikap yang antikorupsi dan masyarakat
yang termotivasi untuk membasmi korupsi tentu cenderung mendukung
program-program antikorupsi.
Ini adalah langkah awal.
Referensi
Prasetyo, T. (2010). Hukum Pidana. Cetakan Pertama. Rajawali
Pers. Jakarta.
van ‘T Hof, M.W. (1930). Wetboek Van Strafrecht. N.V.G.Kolff
& Co. Batavia-Centrum.
Badan Pusat Statistik
(2013). “Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012”. Berita Resmi Statistik 07/01/XVI.
Cameron, L., A.
Chaudhuri, N. Erkal, dan L. Gangadharan (2005). “Do Attitudes Towards
Corruption Differ Across Cultures? Experimental Evidence from Australia, India,
Indonesia and Singapore”. Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://www.econ.canterbury.ac.nz/downloads/attitudes_towards_corruption.pdf.
Sung-Soo, K. (2013). “To be Rich or to be Honest? — Teaching Integrity to the Young in South Korea.” Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://ptfund.org/2013/05/to-be-rich-or-to-be-honest-teaching-integrity-to-the-young-in-south-korea/.
Sung-Soo, K. (2013). “To be Rich or to be Honest? — Teaching Integrity to the Young in South Korea.” Diunduh 28 Juni, 2013, dari http://ptfund.org/2013/05/to-be-rich-or-to-be-honest-teaching-integrity-to-the-young-in-south-korea/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar