Rabu, 03 Juli 2013

Tentang Integritas Cendekiawan dan Praktik Personal Branding yang Murahan dan Manipulasi Traffic

Saya berpostulasi bahwa praktik-praktik manipulasi traffic situs melalui Search Engine Optimization (SEO) tidaklah selaras dengan integritas seorang cendekiawan. Menurut saya seorang cerdik cendekia, seorang pandit, dan seorang yang berilmu tidak pantas melakukan praktik SEO yang semata-mata mengejar traffic. Apakah itu untuk keperluan personal branding atau untuk tujuan yang (katanya) lebih mulia(?).

Pertama-tama, saya kira tidaklah berlebihan apabila kita katakan bahwa Google merupakan stakeholder yang luarbiasa penting dalam menyediakan akses kepada ilmu dan informasi.

Apakah ini kabar baik?

Tidak juga. Diskusi para peserta Program Pengayaan Calon Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Angkatan 2 dalam materi 'Personal Branding di Media Sosial' justru membuat saya takut dengan posisi Google yang demikian berkuasa.

Tavani (2012) mengatakan terdapat lima masalah yang berkaitan dengan mesin pencari. Biasnya mesin pencari menduduki ranking pertama. Menurut Introna & Nissenbaum (2000), skema-skema manipulasi hasil pencarian timbul karena mesin pencari cenderung memiliki bias di mana beberapa situs cenderung untuk diberi bobot lebih besar daripada situs lain. Bias ini dapat disebabkan oleh (1) kepentingan iklan dan (2) manipulasi aktif dari pemilik situs (pengaruh eksternal), serta oleh (3) algoritma pencarian (pengaruh internal).

Saya tidak membicarakan mengenai faktor algoritma pencarian dan faktor kepentingan iklan. Namun saya membicarakan mengenai faktor manipulasi pemilik situs.

Menurut pembicara di sesi LPDP kemarin, pemilik situs dapat mengoptimalisasi personal branding (walaupun saya ragu apakah metode ini berpengaruh positif terhadap branding. Mungkin maksud si pembicara adalah optimalisasi traffic, bukan branding) dengan metode-metode SEO, yakni (1) mencantumkan kata kunci yang populer, (2) meriset daftar popular searches di Google dan kemudian menuliskannya sebagai konten situs, (3) blog-walking, dan (4) promosi situs di media sosial.

Dalam konteks keilmuan dan kecendekiawanan, saya melihat metode nomor (1) dan (2) tidak selaras dengan integritas seorang cendekiawan dan sudah mendekati garis delineasi definisi ‘murahan’ dan ‘manipulatif’.

Murahan. Seorang cendekiawan semestinya menulis berdasarkan nurani. Berdasarkan apa yang ia anggap benar. Bukan berdasarkan apa yang menurut Google sedang populer dicari. Tindakan menulis berdasarkan analisis traffic belaka membuat seorang cendekiawan tidak menghargai otonomi keilmuan. Contoh rendahnya derajat integritas seorang cendekiawan adalah apabila ia menulis mengenai cara menghilangkan ketombe padahal ia tidak memiliki pengetahuan di bidang itu sehingga konten tulisannya mayoritas diekstrak dari Wikipedia atau sumber asing yang diterjemahkan via Google Translate. Hasilnya, si cendekiawan menghambakan diri pada analisis traffic dan lupa akan batasannya.

Manipulatif. Saya pernah mendengar cerita bahwa manipulasi traffic mesin pencari dapat dijustifikasi apabila dilakukan demi suatu tujuan yang baik. Saya tidak sepakat. Akses kepada ilmu pengetahuan dan informasi harus dijamin dan tidak boleh dihambat atas alasan apa pun.

Ketika kita berbicara mengenai ilmu pengetahuan, maka kita harus membicarakan mengenai akses kepada ilmu pengetahuan. Dewasa ini, akses kepada ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi hanya disediakan oleh menara-menara gading: universitas dan perpustakaan. Semua orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan informasi secara luas, mudah, dan murah melalui koneksi internet.

Pemateri diskusi kemarin mengetengahkan cerita bahwa komunitas blogger se-Indonesia pernah berusaha mengalihkan traffic hasil pencarian dengan kata kunci tertentu ‘untuk tujuan mulia’. Katanya, kata-kata kunci tersebut selalu menghasilkan hasil pencarian yang menjurus ke arah konten porno.

Saya memandang justifikasi terhadap upaya ini meragukan. Solusi dari pengalihan atau manipulasi traffic ini hanya bersifat periferal dan sebenarnya potato-tomato dengan upaya Menkominfo memblokir situs porno. Tidak menyentuh akar permasalahan. Bersifat provisional. Menggelikan.

Ketika kita sudah berani menjustifikasi penghambatan akses kepada informasi dengan mengatakan ‘Toh, saya mencegah mudharat’, maka kita tinggal jarak beberapa jengkal lagi dari aksi ketertutupan dan kecurigaan terhadap informasi yang dapat berujung kepada rezim sensor. Konsep mudharat adalah konsep yang relatif. Mutu suatu informasi juga bersifat relatif. Jadi, solusi mencegah mudharat dengan menutupi akses kepada informasi tertentu sebenarnya adalah solusi yang gampangan.

Saya beraspirasi menjadi seorang cendekiawan. Saya menolak tindakan sistematis yang menghambat akses kepada informasi, sebagaimanapun buruk atau bejatnya informasi itu. Didiklah anak-anak untuk tidak mencari informasi yang Anda anggap asusila, namun janganlah menghambat akses kepada informasi tersebut karena penggaris moral Anda bisa jadi memiliki ukuran yang (jauh) berbeda dari penggaris moral orang lain.

Saya mungkin salah karena pendapat ini terlalu liberal.

Lebih lanjut mengenai netralitas mesin pencari, baca: Grimmelmann, J., Some Skepticism About Search Neutrality di http://james.grimmelmann.net/essays/SearchNeutrality (diakses terakhir pada 4 Juli 2013).

Referensi

Tavani, H. (2012), "Search Engines and Ethics", The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Edward N. Zalta (ed.), Diunduh 3 Juli, 2013, dari http://plato.stanford.edu/archives/fall2012/entries/ethics-search/.
Introna, L. dan H. Nissenbaum (2000), “Shaping the Web: Why The Politics of Search Engines Matters,” The Information Society 16(3): 169–185.


Sabtu, 29 Juni 2013

Tentang Tomat, Ketimun, dan Kemauan Menerima

Ketidakcocokan budaya merupakan salah satu aspek yang perlu saya pikirkan masak-masak sebelum saya berangkat studi di negeri orang. Saya harus berkompeten untuk terlibat dalam interaksi antarbudaya agar triad parameter sukses beradaptasi (perasaan nyaman, hubungan baik, dan kerja efektif) dapat saya penuhi.

Dalam sesi Program Kepemimpinan LPDP hari ini (29/06), peserta diajak membahas mengenai proses adaptasi di lingkungan baru. Dari perkembangan diskusi yang terjadi, saya menarik kesimpulan sendiri bahwa mayoritas teman-teman peserta memiliki kekhawatiran bahwa akan terjadi culture incompatibility atau gegar budaya, di mana perbedaan cara pandang, kebiasaan, gaya hidup, dan kepercayaan ditakutkan menimbulkan friksi dalam interaksi sosial. Orang takut bahwa keunikan mereka malah membuat mereka dipandang berbeda dan aneh dalam lingkungan yang baru.

Jadi, situasi ini ibarat ada seiris tomat yang takut tidak dapat berbaur dengan irisan ketimun dalam suatu mangkuk salad.

Saya berusaha berintrospeksi.

Jumat, 28 Juni 2013

Tentang Karakter Pemimpin dan Batasan

Klise, memang. Tapi menurut saya banyak orang yang sulit untuk berani tumbuh dewasa, menanggalkan emosi kanak-kanak, dan menceburkan diri ke realitas kehidupan. Secara teori, seharusnya isi timeline saya di Twitter didominasi oleh orang-orang dewasa yang sepantaran — yah, rentang umur antara 21 sampai 25 tahun lah. Tapi, tidak jarang juga warga timeline mengeposkan status #kode nan #cryptic dengan harapan si target status penuh #kode tersebut eh-kebetulan-baca atau mungkin berharap sesama warga timeline mampir dan berkicau-mention: “Knp? Lgi ad masalh ya?”.

Apa hubungannya dengan judul pos ini?

Kemarin (27/06) dan hari ini (28/06), sesi diskusi LPDP membahas mengenai karakter kepemimpinan. Saya tergelitik untuk mencoba menarik benang merah di antara keduanya.


Kamis, 27 Juni 2013

Tentang Budaya Permisif dan Sikap Antikorupsi

Saat saya masih duduk di bangku kuliah fakultas hukum, saya memperoleh mata kuliah Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafrecht). Sejumlah 3 kredit semester, mata kuliah ini mempelajari hukum pidana materiil untuk kejahatan korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika dan psikotropika, pelanggaran berat hak asasi manusia, perbankan, dan lingkungan. Banyak hal yang membuat kejahatan-kejahatan tersebut dipandang ‘khusus’, salah satunya adalah karena policy consideration di mana dampak dari kejahatan pidana khusus bersifat destruktif dan meluas.

Jadi, bijzonder strafrecht sebenarnya merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht 1886 (“W.v.S.” — Kitab Undang-undang Hukum Pidana), karena hukum pidana khusus ini memiliki tujuan dan fungsi sendiri (Pompe, dikutip dalam Prasetyo, (2010)). Penyimpangan ini diperbolehkan oleh Pasal 103 W.v.S.: De bepalingen der eerste acht Titels van dit Boek zijn ook toepasselijk op feiten, waarop bij andere wettelijke voorschriften straf is gesteld, tenzij bij de wet, bij algemeenen maatregel van bestuur of bij ordonnantie anders is bepaald” (Hof, 1930). Terjemahan bebasnya adalah: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Artinya, W.v.S. sengaja memberikan ruang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi kitab undang-undang hukum pidana.

Pada hari Kamis (27/06) kemarin, LPDP menyelenggarakan diskusi Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Pelatihan Pencegahan Korupsi. Secara pribadi, diskusi ini sangat menarik sebab di sesi pertama, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi hadir sebagai pembicara dan di sesi kedua diputar satu bagian dari film omnibus K versus K, yakni Selamat Pagi, Risa.


Tentang Bonus Demografi

Setelah tiga tahun yang lalu saya memutuskan untuk membuang situs blog pribadi saya di http://bagaspati.com/, akhirnya hari ini saya kembali mulai menulis blog jurnal harian. Banyak yang sudah terjadi pada diri saya semenjak hosting Bagaspati saya akhiri. Sekarang saya sudah S.H., sudah jarang naik sepeda menyusuri Bengawan Solo di sekeliling daerah Sukoharjo, dan sudah (harapannya) lebih dewasa dalam mengambil keputusan. Tepat setahun yang lalu, saya lulus fakultas hukum dan setelah sempat gamang ingin meneruskan karir sebagai corporate lawyer, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke pangkuan alma mater dan mencoba meniti langkah karir sebagai dosen.

Sekitar tiga minggu yang lalu, aplikasi beasiswa saya ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan diterima untuk masuk ke tahap seleksi terakhir. Artinya, apabila saya berhasil melalui program pengayaan selama sebelas hari di Jakarta, rencana kuliah saya ke Boston University School of Law sudah tinggal sejengkal lagi dari keniscayaan.


Tentang Kisah Sukses CSR: Sinergi antara Kepentingan Perusahaan dengan Kepentingan Masyarakat

Hari Rabu kemarin adalah hari pertama program pengayaan. Tidak banyak yang dapat dilaporkan di sini karena hari pertama program hanya diisi oleh tiga mata acara: pembukaan dan sambutan-sambutan, tanya-jawab program beasiswa dengan dewan direksi LPDP, dan Seminar Entrepreneurship. Yang ingin saya sentuh secara agak lebih mendalam adalah mengenai Seminar Entrepreneurship dengan Goris Mustaqim sebagai pembicara. Seminar ini mengetengahkan isu mengenai peran anak-anak muda yang terdidik terhadap pemberdayaan masyarakat. Saya mencatat bahwa tenet yang diusung Goris sebenarnya sederhana: bahwa masalah sosial bisa diatasi dengan pendekatan kewirausahaan. Beliau memberi contoh mengenai investasi pohon. Dalam skema investasi pohon, Goris memodali petani dengan bibit pohon dan pupuk, lalu meminta petani untuk menanam pohon kayu secara tumpang sari dengan tanaman kebun. Ketika kayu pohon tersebut siap panen, koperasi tani akan menjual kayunya dan petani dapat memperoleh 60 sampai 70% dari uang hasil penjualan kayu.

Yang menarik dari skema investasi ini adalah ternyata modal yang diberikan kepada petani berasal dari dana tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Jadi, di sini terlihat adanya kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat.